foto ist/Handi
JAKARTA – Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengadakan Seminar bertema Memperkuat Peran Serikat Buruh Dalam Mengawal Aturan Turunan Undang-Undang No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dan Penguatan Tabungan Pekerja pada Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Acara tersebut dilakukan di Hotel Bumi Wiyata kota Depok pada, Rabu (15/05/2024).
Seminar tentang UU P2KS ini diikuti oleh perwakilan 11 federasi afiliasi KSBSI dan dibuka langsung oleh Sekretaris Jenderal DEN KSBSI Dedi Hardianto. Dalam sambutannya Ia mengatakan bahwa seminar ini bertujuan untuk membuat kertas posisi serikat buruh KSBSI terhadap UU P2SK.
Diantaranya juga untuk mengidentifikasi serta mendapatkan masukan tentang tantangan yang dihadapi dalam UU P2SK. Kemudian memberikan informasi kepada Pekerja dan SP/SB tentang UU P2SK khususnya Program JHT dan JP.
“Lalu nanti akan diparparkan dan dianalisa pasal-pasal di UU P2SK terkait Program JHT dan JP serta untuk mendapatkan masukan dari peserta tentang Program JHT dan JP kedepannya yang akan diatur di Peraturan Pemerintah turunan UU P2SK,” jelas Dedi.
Sementara itu Carlos Rajagukguk, Ketua Umum FSB NIKEUBA yang juga anggota LKS Tripnas dalam pematerinya lebih menjelaskan tentang peranan LKS Tripartit dalam mengawal aturan turunan UU P2SK.
“Bahwa dalam UU P2KS iuran JHT akan ditempatkan dalam 2 akun, besaran proporsi iuran, dan cara pembayaran manfaat, besaran iuran JHT, penyelenggara program pensiun tambahan yang bersifat wajib,” kata Carlos.
Carlos menjelaskan bahwa LKS Tripnas berperan diantaranya dalam melakukan konsultasi, menelaah dan melakukan perumusan, lobi dan advokasi, pendiidkan dan informasi lalu berperan aktif dalam kasus.
Timboel Siregar, dari BPJS Watch dalam kesempatan yang sama lebih menjelaskan tentang demografi dan implementasi dari isi UU P2SK serta respon pekerja terhadap isu ini.
“Hasil survai mengatakan bahawa pekerja menolak karena Pasal 58 PP No. 35 Tahun 2021, lalu karena banyak DPPK/DPLK yang bermasalah, DPPK atau DPLK merupakan asuransi komersial yang tidak mengikuti Sembilan prinsip SJSN, sedangkan Program JHT dan JP harus mengacu pada Sembilan prinsip SJSN.” kata Timboel.
Kemudian disesi terakhir ada Rekson Silaban selaku MPO KSBSI yang dalam pematerinya lebih menjelaskan tentang Jaminan Pensiun (JP). Ia mengatakan bahwa masih banyak opsi dalam mengatasi beban iuran pensiun.
“Menaikkan usia pensiun untuk menunda waktu pembayaran uang pensiun dan membuat orang berkontribusi lebih lama. Meningkatkan partisipasi angkatan kerja dan memperpanjang tenure masa kerja, untuk meningkatkan kecukupan masa iur dan penerimaan pajak (Lihat: hukum bilangan besar jamsos).” jelas Rekson.
Rekson menambahkan bahwa bisa juga dengan meningkatkan tarif pajak untuk membiayai subsidi JP. Menaikkan besaran iuran JP. Tidak menambah iuran, tapi pemerintah mengatasi masalah hari tua, dengan bantuan sosial/tunjangan sosial, berdasarkan segmen populasi.
Rekson menyimpulkan bahwa Retirementis a celebration not a suffering (Pensiun adalah selebrasi bukan penderitaan) bagi pekerja di Eropa, namun tidak demikian di Indonesia. Jaminan sosial seharusnya menyatu, tidak dikelola terlalu banyak lembaga. Asuransi swasta dan lembaga keuangan tidak mengganggu jaminan sosial dasar di BPJS. Jaminan Pensiun adalah hak asasi seluruh pekerja. Pemerintah seharusnya lebih fokus mengurus pekerja yang belum terdaftar(saat ini peserta JP hanya 17%)
Seminar ini juga menyepakati rekomendasi bahwa KSBSI menolak lembaga keuangan atau DPPK, DPLK atau lembaga apapun selain BPJS Ketenagakerjaan untuk mengelola dana JHT dan JP.
Lalu menambah persentase formula Manfaat Pensiun dari sebelumnya 1% menjadi setidaknya 1,5% agar tetap bisa menunjang daya beli buruh ketika sudah memasuki usia pensiun. (*/Handi)
