
Jakarta – Caleg perempuan tetap memerlukan dukungan yang lebih dari partai politik. Seperti untuk mempromosikan calon-calon perempuan yang kompeten dan mumpuni. Dan juga juga memberikan tekanan bahwa mereka juga perlu juga diamankan suaranya supaya tidak dicurangi.
Hal tersebut disampaikan Melli Darsa, SH, LLM , Caleg DPR RI untuk Dapil Jabar III, dari Partai Golkar dalam Seminar Keterwakilan Perempuan Lewat Pileg, Afirmasi atau Fiksi, yang digelar di Universitas Jayabaya, Senin (4/3/2024).
Seminar tersebut digelar oleh Leksma Universitas Jayabaya bekerja sama dengan Rumah Demokrasi dan Koalisi Perempuan untuk Pemilu Adil.
“Di tahun 2024, sudah waktunya Kebijakan Afirmasi ini membuktikan suatu kemajuan, dan bukan tetap menempatkan perempuan sebagai vote getter atau ‘cheerleader’ namun bukan pihak yang dapat turut menikmati kemenangan bersama kolega prianya,” jelas Melli.
Ia menjelaskan, di Pemilu 2024 afirmasi keterwakilan perempuan ditekankan dalam UU No. 7 Tahun 2023 tentang Perppu No. 1 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 173 ayat 2 butir e yang menyebutkan menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Pasal 245 menyebutkan pula bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
Afirmasi perempuan dalam UU Pemilu tidak hanya terhadap Caleg, tetapi juga penyelenggara. Pasal 22 UU Pemilihan Umum menyebutkan keanggotaan tim seleksi calon anggota KPU RI dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
Keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI selaku penyelenggara teknis dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI harus memperhatikan Persentase keterwakilan perempuan paling sedikit 30% disebutkan dalam UU Pemilu (Pasal 92 ayat 11). Sebut saja bahwa penyelenggara untuk tingkat kecamatan Panitia Pemungutan Kecamatan atau PPK (Pasal 52 ayat 3), Panitia Pemungutan Suara paling atau PPS tingkat kelurahan (Pasal 55 ayat 3) dan Kelompok Petugas Pemungutan Suara atau KPPS (Pasal 59 ayat 4).
“Terkait ini, kita harus belajar dari dunia korporasi bahwa suatu Direksi dan Dewan Komisaris baru akan berubah dalam pola pengambilan keputusan menuju pro-gender, saat ada lebih dari 1 atau bahkan minimal 3 .Direktur dan Komisaris,” jelas Melli.
Demikian pula harus dilihat sejauh mana, jumlah keterwakilan perempuan itu cukup signifikan untuk memastikan keputusan yang diambil lebih mengedepankan kepentingan perempuan dan anak. Atau jangan-jangan, karena perempuan itu ‘outnumbered’ akhirnya hanya mengikuti putusan pria yang ada dan justru menghasilkan legislasi yang amat merugikan perempuan dan anak.
“Namun yang juga menarik berdasarkan pengalaman saya, uang untuk proses politik yang harus dikeluarkan saya sebagai caleg, umumnya lebih tinggi dari laki-laki. Faktor lebih tingginya adalah sebagai perempuan, kita harus melewati banyak perantara untuk dapat menembus ke pihak-pihak yang memiliki pengaruh untuk mengamankan atau memperkuat kedudukan kita sebagai caleg,” jelas Melli.
Selain itu kata dia, kita bisa melihat bahwa sistem penghitungan suara yang walau pun hendak dikesankan lebih berdasarkan “IT’ ternyata justru banyak menghasilkan kesalahan, selain itu masih melibatkan kewenangan personal penyelenggara.
“Dengan arti lain bahwa sistem yang konon transparan itu sendiri justru banyak mengandung ‘error teknologi’ selain juga masih memungkin diskriminasi terhadap perwakilan perempuan,” jelasnya.
“Hanyalah Petinggi Partai yang bisa intervensi untuk memastikan bahwa calon legislator perempuan-perempuan kompeten tetap bisa lolos dari lubang jarum. Khususnya dalam hal di suatu Dapil sudah jelas dapat dimenangkan lebih dari satu kursi maka sewajarnya, perempuan diijinkan dalam rangka Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan untuk menduduki kursi tersebut dan tidak hanya dikaitkan siapa yang mendapatkan kursi terbanyak,” imbuh Melli.
Kebijakan Afirmasi yang ada harus lebih berani menempatkan perempuan sebagai wakil rakyat.
“Karena dengan sistem yang membingungkan pemilih, belum tentu dari suara murni menghasilkan ‘wisdom’ dari pemilih,” jelas Melli.
Ia berharap semoga di Pemilu 2024, representasi perempuan khususnya bagi partai yang berhasil mendapatkan simpati rakyat sebagai Juara I, II, III dapat membuktikan keberpihakannya kepada caleg perempuan yang kompeten di bidang legislasi dapat memperkaya dan meningkatkan kualitas legislasi agar lebih pro-perempuan untuk 5 tahun ke depan.
“Petinggi Partai yang menjadi pemenang Pemilu 2024 harus memberikan contoh untuk lebih melaksanakan Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan secara progresif,” jelas Melli.
Sementara itu, Pengamat Pemilu Ray Rangkuti mengatakan pada 2014 ramai isu perempuan pilih perempuan. Karena itu kata dia perlu ada upaya tegas supaya afirmasi perempuan benar-benar dilakukan.
“2014 ramai isu perempuan pilih perempuan. Tapi makin kesini tidak ada. 2024 pemilu liberal atau tidak ada isu. Kalau di politik pasar bebas, seperti ala media sosial, yang paling banyak nongol di TV laki-laki. Jadi kalau pemilu pasar bebas, yah sudah tidak terwakili perempuan. Kecuali ad aturan keras seperti 50:50. Atau kuota 30 persen bukan secara nasional tapi secara dapil,” ujarnya.