Webinar bertajuk LFP vs Baterai Nikel: Quo Vadis Masa Depan Nikel Indonesia” yang digelar Jurist Resia & Co bekerjasama dengan media online suaraenergi.com, pada Senin (5/2/2024). foto ist
indopostrust.id – JAKARTA – Ketua Bidang Kajian Strategis Pertambangan dari Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Mohammad Toha mengatakan perlu adanya tata kelola nikel di Indonesia yang nantinya bisa memastikan adanya pengaturan supply and demand yang baik. Hal ini penting untuk menjaga kestabilan harga.
Pakar Hilirisasi dan Pendiri Indonesian Institute for Mineral and Metal Industries (IM2I), mendorong agar Indonesia bisa lebih maju dalam memanfaatkan cadangan nikel. Jangan lagi hanya berkecimpung di sektor hulu, tetapi sudah saatnya juga ikut berkiprah di hilir.
Namun juga yang juga teramat sangat penting soal lingkungan dan ekonomi di satu daerah penghasil tambang harus tetap terjaga. “Jangan sampai tidak stabil ketika hasil tambang sudah habis,” tegas Ahmad Redi sebagai Ahli Hukum dan Pertambangan.
Demikian sejumlah hal yang disampaikan narasumber dalam Webinar bertajuk LFP vs Baterai Nikel: Quo Vadis Masa Depan Nikel Indonesia” yang digelar Jurist Resia & Co bekerjasama dengan media online suaraenergi.com, pada Senin (5/2/2024).
Webinar yang diikuti hingga mencapai 200 peserta ini juga menghadirkan Pengamat Energi UGM Fahmy Radhi.
Dalam webinar tersebut M Toha mangatakan, nikel sebagaimana komoditi pertambangan lainnya juga kerap mengalami fluktuasi harga. Kadang mahal, tetapi kerap bertahan di harga yang cukup ekonomis.
“Namun meski demikian, sejumlah industri seperti industri robot, energi, bahkan energi terbarukan juga akan tetap membutuhkan nikel,” ujarnya.
Menariknya, sambung M Toha, terjadi anomali peningkatan harga nikel ketika pandemi mendera dunia tiga tahun lalu. Padahal saat itu, seluruh sektor ekonomi sedang lesu karena dihantam pandemi.
“Kenaikan harga nikel itu kemudian disinyalir karena tingginya permintaan nikel untuk baterai mobil listrik. Banyak perusahaan dari luar masuk ke Indonesia dan terjun ke industri nikel karena melihat prospek yang sangat baik dan diperkirakan akan naik lagi,” katanya.
Sejalan dengan naiknya harga nikel, maka harga Lithium Ferro Phosphate (LFP) juga turut mengalami pelonjakan harga. Hal ini tidak terlepas dari fenomena mobil listrik Tesla yang menggunakan LFP karena dinilai jauh lebih efisien menyimpan energi baterai. Dengan kata lain, penggunaan LFP, lanjut Toha, dalam waktu mendatang akan terus mengalami kenaikan.
“Ini akan berubah menjadi seperti penggunaan ponsel masa kini, di mana semua manusia telah memiliki ponsel. Nantinya kendaraan listrik juga akan begitu, bahwa mobil konvensional akan digantikan oleh mobil listrik berbasis baterai,” ujar dia.
Dengan adanya prospek penggunaan yang begitu banyak, M Toha berpendapat perlu adanya tata kelola nikel di Indonesia yang nantinya bisa memastikan adanya pengaturan supply and demand yang baik. Hal ini penting untuk menjaga kestabilan harga.
Meskipun pada faktanya, kata M Toha, penggunaan nikel untuk baterai saat ini masih sangat sedikit, yakni baru sekitar 3 persen.
“Nikel paling banyak digunakan saat ini memang bukan untuk baterai, tetapi oleh industri lain seperti industri militer, otomotif, dan kesehatan. Hanya saja itu tadi, proyeksi penggunaan nikel untuk baterai akan terus mengalami peningkatan. Itulah sebabnya dibutuhkan lembaga yang bisa mengatur. Kalau di minyak kita mengenal OPEC, nah di nikel nantinya juga harus ada. Karena harus diingat bahwa nikel pasti akan dibutuhkan sampai kapanpun selama cadangannya masih ada,” jelas M Toha.
Sementara itu, Raden Sukhyar lebih mendorong agar Indonesia bisa lebih maju dalam memanfaatkan cadangan nikel yang berlimpah di Indonesia. Jangan lagi hanya berkecimpung di sektor hulu, tetapi sudah saatnya juga ikut berkiprah di hilir.
“Belum ada competitive advantage yang bisa diperoleh dari nikel, padahal sudah seharusnya bisa membangun value chain yang lebih bagus lagi. Indonesia sudah seharusnya menjadi negara penentu, bukan hanya follower bagi negara maju seperti Cina,” jelas Sukhyar.
Sementara itu, Fahmy Radhi menitikberatkan pada hilirisasi yang masih membutuhkan evaluasi secara mendalam. Walaupun diakui Fahmy, upaya pemerintah melakukan hilirisasi pada awalnya mendapat penolakan dari asing meskipun penolakan itu dapat diredam dengan baik.
Meski begitu, hilirisasi, sambung Fahmy, diharapkan tidak hanya mendatangkan keuntungan bagi investor. “Yang terjadi saat ini adalah investor makin sejahtera sedangkan masyarakat kurang merasakan dampaknya. Ini harus diubah menurut saya,” kata Fahmy.
Sementara sebagai penanggap diskusi, Ahmad Redi juga menyoroti pentingnya perhatian pada sejumlah aspek seperti transisi ekonomi, pangan, lingkungan, jika sudah berbicara tentang hilirisasi.
Pasalnya, sambung Redi, jangan sampai booming nikel justru menjadi boomerang bagi masyarakat di sekitar tambang.
“Ekonomi di satu daerah penghasil tambang harus tetap terjaga, jangan sampai tidak stabil ketika hasil tambang sudah habis,” tegasnya.
