
“Kita ada harapan sebenarnya pasca 2024, tahun politik, siapapun pemenangnya pilpres maupun pileg nanti kita berharap mereka akan terus konsisten untuk kemudian mengentaskan kemiskinan,” ujar Pengamat Sosial Ramdansyah saat dialog RRI Pro1 Jakarta, Mozaik Indonesia, dengan tema Harapan Masyarakat Indonesia Entaskan Kemiskinan pasca 2024, Selasa (6/2/2024).
Namun begitu Ramdansyah mengingatkan upaya mengentaskan kemiskinan itu harus didasarkan data yang riil dan konkrit. Serta ada inovasi, seperti menggunakan teknologi drone dan menggabungkankannya dengan sensus dan wawancara masyarakat .
“Itu adalah upaya memadukan penggunaan teknologi dengan sensus yang diharapkan datanya semakin fix. Sehingga untuk implementasi pengentasan kemiskinan juga bisa tepat sasaran,” jelas Ramdansyah yang juga ketua Rumah Demokrasi.
Yang tidak kalah pentingnya, jelas Ramdansyah terkait dengan kebijakan atau policy.
“Hari ini saya tengah berada di Manokwari, Provinsi Papua Barat berharap agar perempuan banyak terpilih di parlemen. Karena mereka ibu-ibu yang ada di Papua atau mama mama itu punya peranan penting sebenarnya. Karena mereka lebih tahu kondisi riil dalam keluarga. Sehingga kalau dia di awal ada pernikahan dini, yang kemudian menyebabkan harapan hidup rendah, bahkan pendidikan yang tidak berjalan dengan baik, maka tidak ada kata lain ini kemudian mama mama ini bisa menolak ini. Mama-mama perlu mendorong anak-anaknya untuk sekolah lebih tinggi lagi. Karena mama mama ini mereka punya yang namanya kemampuan untuk kemudian membuat policy kebijakan masalah pengentasan kemiskinan yang lebih agar bisa dijalankan,” beber Ramdansyah.
“Tetapi tentu saja ini mama mama ini akan berhadapan dengan kondisi, seperti KDRT yang masih besar sehingga kemudian tidak ada kata lain maka beri mereka peran yang lebih besar sebagai perempuan di parlemen baik di tingkat kabupaten, provinsi maupun DPR RI,” imbuhnya.
Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan terkait upaya pengentasan kemiskinan, kita harus lihat angka miskin prevalensi Bank Dunia sebelum 17 Oktober tahun 1992.
“Karena 1992 itu badan Persatuan Bangsa-Bangsa ada momentum 17 Oktober itu dideklarasikan sebagai hari pengentasan kemiskinan internasional. PBB membuat langkah yang drastis dalam membuat gerakan pengentasan kemiskinan. Karena dulu Bank Dunia saja tahun katakanlah tahun 80 an kebawah itu mengklaim bahwa angka miskin sangat tinggi,” jelas Ramdansyah.
Alat ukur angka kemiskinan di Indonesia jelas Ramdansyah, misalkan tiap provinsi dan kabupaten itu punya yang disebut miskin itu adalah konsumsi makanan dan non makanan.
Ketika banyak produk jaring pengaman sosial yang dibuat di seluruh dunia, termasuk kemudian di Indonesia, yang awalnya itu adalah di negara-negara maju maka pengukuran terhadap kemiskinan yang kemudian akan menjadi dasar kebijakan itu sampai kemudian terkait dengan kondisi rumah.
Meskipun angka kemiskinan sudah mulai menurun sejak tahun 1992-an, tetapi mulai meninggi kembali ketika di masa Covid, jelas Ramdansyah.
“Tetapi kemudian pasca covid kemarin kita awalnya bisa menurunkan tingkat kemiskinan. Tapi kemudian mulai naik lagi tapi sedikit tidak terlalu besar. Waktu itu 10,1 atau 10,2 persen. Waktu itu ambang katakanlah magical number, jadi kalau tembus 10 persen itu kayak seolah-olah wah tambah miskin yah,” imbuhnya.
Tapi memang kondisinya, konteksnya jelas Ramdansyah, saat itu lagi covid. Jadi ketika parameter yang digunakan itu adalah parameter yang sudah mulai baik, tidak hanya kemudian berkisar pada orang miskin saja.
“Tetapi pada parameter misalkan Indeks Pembangunan Manusia yang orang tidak diukur hanya kepada kekayaan saja tetapi juga bagaimana misalkan kesehatannya lama hidupnya. Itu sudah mulai tinggi jadi kita itu punya tingkat hidup kita lebih kepada sudah diatas 60, sudah mencapai 67-68 artinya sudah ada peningkatan dulu tahun 50an itukan di 40, Kemudian naik ke 50, sekarang 60 bahkan hampir 70 umur,” jelas Ramdansyah.
Sementara untuk sekolah awalnya masyarakat SD sekarang sudah 8 tahun 6 bulan, kelas dua atau kelas tiga. “Nah disini menurut saya orang tidak hanya diukur hanya karena dia kepemilikan benda atau berharta. Tetapi kemudian pada harapan hidup, dan terkait pengetahuan,” ujar Ramdansyah.
Karena asumsinya kata dia adalah semakin tinggi dia punya ilmu pengetahuan, maka selain harapan hidup, knowledgenya dia maka akan dapat pekerjaan juga.
“Jadi ini yang menurut saya angka yang namanya harapan hidup, maka kemudian kemiskinan makin berkurang karena adanya indeks pembangunan manusia yang mulai baik,” ujarnya.
Berdasarkan data BPS 2023, pada Maret 9,36 persen angka kemiskinan, menurun dari September 2022 sebesar 0,21 persen. Adapun jumlah penduduk miskinnya pun 25,90 juta jiwa.
Ramdansyah menerangkan, kategori miskin ada banyak ketentuan. Misalnya di BPS, yang paling sederhana garis kemiskinan yang sudah dibuat oleh BPS.
Misalkan di perkotaan bulan Maret, September diukur, jadi setiap beberapa bulan sekali atau setiap 6 bulan dibuat ukuran. Misalkan konsumsi makanan untuk di daerah perkotaan itu harus kemudian ada total Rp377 ribu atau kemudian kita ukur makanan dan non makanan itu konsumsi setiap bulan itu Rp521 ribu.
“Nanti untuk di pedesaan, itu kemudian dikatakan miskin apabila dalam satu bulan dia tidak bisa mencapai Rp490 ribu. Ini yang terus dihitung oleh BPS dan kemudian secara nasional akan dijadikan pengukuran persentase tingkat kemiskinan pertahunnya berapa,” ujar Ramdansyah.
“Tapi kemudian saya lihat hampir dibawah 10 persen setelah 2021. Karena setelah covid kita sudah mulai membaik kondisinya. Sehingga kemudian orang bisa mendapatkan pendapatan yang cukup besar ketimbang pada saat masa covid orang tidak bisa kemana-mana,” pungkasnya.