
Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
Janji akan membesarkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina yang dulu pernah disampaikan Presiden Joko Widodo saat kampanye saat terpilih diperiode 2014-2019 hanya akan bisa dipenuhi dengan persyaratan adanya Undang-Undang (UU) yang mendukungnya.
Tidak mungkin tanpa UU pendukung, maka Pertamina akan mampu menjadi besar apalagi bisa mengurangi ketergantungan atas impor Minyak dan Gas BumI (Migas), termasuk produknya Bahan Bakar Minyak (BBM) yang merupakan hasil olahan minyak mentah.
Khusus UU pendukung sektor ini, tentu bukan hanya kewenangan Presiden saja melakukan perbaikan atas UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi melainkan juga partai politik melalui kadernya di parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bertindak.
Sebab, UU 22/2001-lah yang telah mengkebiri posisi Pertamina dari pemegang mandat konstitusi ekonomi integratif menjadi hanya operator atau tidak seperti kewenangan yang diberikan oleh UU 8/1971.
Tanpa perhatian dan keberpihakan yang sungguh-sungguh dari DPR terkait masalah ini, maka mustahil impor minyak mentah dan BBM dapat dikurangi!
Namun demikian, publik juga perlu tahu sebenarnya kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai satu-satunya operator sektor Migas di Indonesia dalam mendukung upaya pemenuhan janji Presiden tersebut.
Ditengah keberhasilan BUMN Perusahaan Listrik Negara (PLN) tanpa diduga mampu menyelesaikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung yang terletak di Waduk Cirata (PLTS Cirata), Purwakarta, Jawa Barat, yang telah diresmikan oleh Presiden Jokowi pada Kamis 9 November 2023.
PLTS Terapung Cirata ini merupakan yang terbesar se-Asia Tenggara dengan total kapasitas terpasang 192 megawatt peak (MWp).
Lalu, bagaimana halnya dengan kemajuan pembangunan peningkatan kilang dalam mengolah migas melalui Refinery Development Master Plan (RDMP) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional? Dengan hak monopoli yang merupakan mandat konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945) semestinya hal ini tidaklah terlalu sulit diupayakan.
Akibat terlalu lamanya PSN ini, maka menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tertuang dalam ‘Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022’, justru impor produk kilang seperti BBM mengalami kenaikan 12,6% pada tahun 2022, yaitu sejumlah 27,86 juta kilo liter (kl).
Dibandingkan data tahun 2019 yang tercatat hanya sejumlah 24,73 juta kl, maka kenaikan impor produk BBM sejumlah 3,13 juta kl ini menjadi tidak wajar apalagi masuk akal.
Bahkan, data impor produk BBM Indonesia selama empat (4) tahun terakhir, 2019-2022 menunjukkan kecenderungan (trend) peningkatan.
Impor tersebut terdiri dari berbagai jenis BBM seperti RON 90, RON 92, RON 95, avtur, avgas, solar (gasoil), naphta, HOMC, dan MDF. Adapun impor terbesar terpantau pada BBM jenis RON 90, dibandingkan dengan jumlah impor pada jenis BBM lainnya.
Impor BBM RON 90 pada 2022 tercatat mencapai 15,11 juta kl, melonjak 86% dari impor pada 2021 yang sebesar 8,14 juta kl. Bila dibandingkan 2019 yang tercatat sebesar 11,08 juta kl, artinya impor BBM RON 90 melonjak 36%.
Jenis BBM yang merupakan produk dengan jumlah impor terbesar kedua pada tahun 2022 yaitu solar (gasoil) yaitu sejumlah 5,27 juta kl atau terdapat kenaikan sebesar 65% dibanding impor tahun 2021 yang hanya berjumlah 3,19 juta kl.
Sedangkan, pada tahun 2019, impor gasoil ini tercatat lebih besar yaitu sejumlah 3,87 juta kl atau berselisih 6,8 juta kl terhadap tahun 2021. Pertanyaannya, bagaimana halnya dengan kinerja produksi migas dan BBM yang dikelola oleh Pertamina kemajuannya?
Sementara, konsumsi BBM antara tahun 2015-2020 selalu menunjukkan peningkatan sejumlah 1,2 juta kl per tahun, kecuali pada masa pandemi Covid19 melanda pada tahun 2020 yang berimplikasi pada menurunnya jumlah konsumsi BBM akibat pembatasan aktivitas transportasi.
Jenis kendaraan yang terbesar konsumsi bahan bakarnya menurut ESDM, yaitu sepeda motor, mencapai 22,5 juta kiloliter (kl) pada 2015. Pada tahun 2019, konsumsi BBM jenis kendaraan bermotor ini meningkat menjadi 25,9 juta kl, berarti mengalami kenaikan sejumlah 3,4 juta kl atau 15,1 persen.
Upaya Pertamina disektor hilir (downstream) melalui pembatasan pembelian BBM tidak akan optimal kalau impor BBM terus dilakukan tanpa dukungan disektor hulu (upstream).
Dengan demikian, kekurangan produksi minyak selama kurang lebih 10 tahun yang hanya berkisar 1,8-1,9 juta BOEPD dan masih terus melakukan impor lebih dari 1 juta BOEPD menunjukkan fakta naifnya janji Presiden membesarkan Pertamina dan mengurangi impor migas/BBM apalagi sampai menihilkan impor!
Data tersebut menunjukkan tidak adanya upaya pemerintah menggali potensi migas yang ada di Indonesia untuk dikembangkan agar mampu mengatasi permasalahan celah (gap) antara produksi dan konsumsi migas/BBM nasional.
Apabila, pemerintah tidak melakukan kegiatan apa-apa dalam mengatasinya, maka dimasa mendatang Indonesia akan semakin terbebani impor minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BBM masyarakat di dalam negeri.
Seperti diketahui, RDMP Balikpapan milik Pertamina hanya memiliki kapasitas pengolahan minyak mentah sejumlah 360.000 barel per hari (bph), terbesar dari sejumlah kilang minyak yang telah ada saat ini.
Selain di Balikpapan, kilang milik Pertamina juga terdapat di Dumai, Provinsi Riau dengan kapasitas produksi sejumlah 127.000 barel per harinya, baik BBM maupun non BBM.
Artinya, Direktur Utama Pertamina beserta jajaran Direksinya dengan peta jalan (road map) yang dimiliki tidak mampu setidaknya mengurangi ketergantungan atas produk impor BBM untuk konsumsi dalam negeri yang rata-rata hanya bisa dipenuhi 60 persen saja.
Pertamina justru menurut perkiraan manajemennya baru akan memiliki kilang minyak dari hasil RDMP pada tahun 2024 ini (tanggal dan bulan belum tersedia), yaitu di Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur atau kalah cepat dengan pembangunan PLTS Terapung Cirata.
Oleh karena itu, perlu komitmen para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam mengatasi impor minyak/BBM yang terus menyedot devisa negara dalam jumlah lebih besar tersebut melalui percepatan penyelesaian RDMP.
Tanpa adanya keinginan kuat pemerintah, khususnya Menteri ESDM dan Menteri BUMN untuk mengurangi ketergantungan importasi minyak/BBM, devisa negara yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mencapai kesejahteraan rakyat hanya akan mengalir kepada para importer dan negara asing.
Presiden Joko Widodo harus memberikan perhatian khusus dan bersikap tegas atas keterlambatan penyelesaian RDMP ini dalam upaya mengatasi permasalahan beban importasi migas dan BBM yang berimplikasi tersedotnya devisa dan keuangan negara lebih besar lagi.
Kinerja jajaran Direksi Pertamina dan SKK Migas dituntut untuk segera memenuhinya agar realisasi janji kampanye Presiden Joko Widodo disektor migas ini tercapai, jika tidak ingin dianggap sebagai pihak yang berpihak pada importer!