INDOPOS-Jakarta — Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Prof. Laksanto, menyampaikan refleksi kritis akhir tahun 2025 terkait kondisi masyarakat hukum adat di Indonesia. Dalam catatan tersebut, Prof. Laksanto menilai negara telah gagal melindungi dan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat secara adil dan bermartabat.

Meminjam istilah sastrawan Pujangga Baru era 1930-an, Sanusi Pane, dalam drama sejarah tentang masa-masa kelam dan kemunduran Majapahit, Prof. Laksanto menyamakan situasi tersebut dengan kondisi masyarakat hukum adat di Indonesia saat ini.

“Masyarakat hukum adat tengah mengalami kemunduran dan degradasi eksistensi,” ujarnya.

Menurut Prof. Laksanto, masyarakat hukum adat sejatinya merupakan penjaga keseimbangan alam, khususnya flora, melalui sistem kepemilikan tanah ulayat yang diwariskan secara turun-temurun. Namun, keberadaan dan peran strategis tersebut justru dinafikan oleh negara.

Ia menilai hukum yang seharusnya menjadi sarana untuk menghadirkan kebahagiaan bagi masyarakat—sebagaimana diajarkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo—telah berubah menjadi alat kekuasaan. Dengan dalih mempermudah investasi, penguasa dan pembentuk undang-undang memformalkan aturan-aturan yang justru menggerus hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya.

“Masyarakat hukum adat seakan dibunuh oleh bapaknya sendiri, yakni hukum,” tegasnya.

Prof. Laksanto memperingatkan bahwa jika kebijakan semacam ini terus dibiarkan, maka kepemilikan tanah ulayat akan lenyap dan punah dari sistem hukum nasional.

Sorotan tajam juga diarahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hingga kini belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA). Padahal, RUU tersebut telah mengendap di parlemen selama kurang lebih 18 tahun.

Menurutnya, parlemen sebagai representasi rakyat Indonesia telah mengesampingkan dan secara tidak langsung menolak keberadaan masyarakat hukum adat.

“Masyarakat hukum adat tidak hanya didegradasikan, tetapi juga ditolak oleh ibu kandungnya sendiri, yakni negara,” ungkap Prof. Laksanto.

Ia menambahkan bahwa dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, hukum adat sering kali hanya dijadikan ornamen normatif tanpa makna substantif. Pengakuan terhadap masyarakat adat bersifat simbolik dan seremonial, misalnya saat upacara kenegaraan 17 Agustus, tetapi setelah itu mereka kembali tersingkir dari ruang hidup dan kebijakan negara.

Refleksi akhir tahun 2025 ini juga dikaitkan dengan berbagai musibah ekologis yang terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Prof. Laksanto menilai bencana-bencana tersebut merupakan cerminan dari sikap negara yang memunggungi masyarakat adat beserta kearifan lokalnya.

“Negara telah mengesampingkan kesederhanaan dan kearifan lokal masyarakat adat yang selama ini justru menjaga keseimbangan alam,” katanya.

Menatap tahun 2026, Prof. Laksanto menegaskan bahwa negara tidak boleh lagi menunda tanggung jawab konstitusionalnya. Pemerintah dan parlemen diminta segera memberikan tempat yang layak bagi masyarakat hukum adat dalam sistem hukum nasional.

Langkah paling mendesak, menurutnya, adalah segera mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat yang telah lama terkatung-katung di parlemen.

“Sudah saatnya negara menatap masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang utuh, bukan sekadar simbol,” pungkasnya. (***)