JAKARTA – Sidang gugatan perdata antara pengusaha jalan tol Jusuf Hamka dan bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo kembali menarik perhatian publik dan mengungkap sejumlah fakta baru terkait dugaan pemalsuan Negotiable Certificate of Deposit (NCD) senilai USD 28 juta.
Gugatan bernomor 142/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Pst itu bernilai Rp119 triliun dan kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Persoalan itu bermula dari pertukaran surat berharga antara perusahaan Hary, PT Bhakti Investama (kini MNC Asia Holding), dan PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) milik Jusuf Hamka pada Mei 1999.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (15/10), Jusuf hadir sebagai saksi dan menuturkan kisah panjang relasi bisnisnya dengan Hary Tanoe yang kini berujung sengketa hukum senilai Rp119 triliun.
“Saya sudah menolong Hary Tanoe sejak tahun 1994–1995, bahkan ikut membantu permodalan bisnisnya. Tapi justru saya yang dizalimi,” kata Jusuf dengan nada emosional di hadapan majelis hakim.
Dalam transaksi tersebut, CMNP menyerahkan Medium Term Notes (MTN) dan obligasi senilai total Rp342,5 miliar, sementara Hary Tanoe menukar dengan NCD terbitan Bank Unibank senilai USD 28 juta.
Belakangan, Bank Indonesia menetapkan Unibank sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha dan menyerahkan pengelolaannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
CMNP kemudian meminta pencairan NCD tersebut ke BPPN pada Agustus 2002. Namun, BPPN menolak dengan alasan NCD tidak memenuhi ketentuan Bank Indonesia. “Penerbitan NCD PT Unibank melanggar Surat Edaran BI dan tidak memenuhi syarat program penjaminan pemerintah,” demikian bunyi surat BPPN kala itu.
Kasus itu sempat berlanjut hingga tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung (No. 376 PK/Pdt/2008), yang menegaskan bahwa NCD tersebut tidak sah. Meski demikian, Jusuf Hamka kembali menggugat pada 2025 setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan daluarsa baru dimulai ketika surat palsu diketahui dan menimbulkan kerugian.
Bantahan dan Fakta Baru di Pengadilan
Dalam sidang 26 Agustus 2025, kuasa hukum Hary Tanoe, Hotman Paris Hutapea, menyatakan pihak yang semestinya digugat adalah Drosophila Enterprise Pte Ltd, perusahaan Singapura yang disebut membeli surat berharga CMNP. “CMNP salah pihak,” kata Hotman.
Namun, dokumen dari Accounting and Corporate Regulatory Authority (ACRA) Singapura membantah dalil itu. Data resmi menunjukkan Drosophila Enterprise Pte Ltd sepenuhnya dimiliki Hary Tanoe dan istrinya, Liliana Tanaja. Perusahaan itu didirikan November 1998, tujuh bulan sebelum transaksi, dan dibubarkan pada 2004. Fakta ini membuat klaim Hotman soal pihak asing tidak relevan.
Kesaksian di persidangan turut memperkuat posisi Jusuf. Jarot Basuki, mantan Kepala Biro Keuangan CMNP, menyatakan transaksi dilakukan langsung antara Hary Tanoe dan Tito Sulistio tanpa keterlibatan Drosophila. Saksi lain, Sulistiowati, menegaskan bahwa ia menerima langsung NCD dari pihak Hary Tanoe. “Tidak ada arranger, tidak ada pihak lain,” ujarnya.
Ahli hukum perdata Prof. Anwar Barohmana dari Universitas Hasanuddin menjelaskan, bentuk transaksi tersebut bukan jual-beli, melainkan pertukaran surat berharga.
“Dalam jual-beli ada uang. Dalam kasus ini, yang ditukar adalah surat berharga dengan surat berharga,” katanya.
Fakta persidangan menunjukkan Drosophila hanyalah perusahaan cangkang milik Hary Tanoe yang dibentuk untuk melindungi kepentingannya dalam skema tukar-menukar surat berharga. Tidak ada satu pun dokumen yang menunjukkan peran aktif perusahaan itu dalam transaksi 1999.
Di luar ruang sidang, Hotman Paris masih yakin kliennya akan menang. “Saya menang dua belas–nol,” ujarnya. Jusuf Hamka menanggapinya singkat, “Yang benar tetap akan menang.”
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan ahli tambahan. Namun sejauh ini, rangkaian fakta di persidangan memperlihatkan arah yang kian menekan posisi Hary Tanoe dalam sengketa NCD yang telah membeku lebih dari dua dekade.
