foto ist
Karakter dan sikap mental bangsa Indonesia harus diubah ke arah yang lebih baik, yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila melalui penguatan karakter dan jati diri bangsa. Dengan harapan nilai-nilai tersebut dapat melebur ke dalam pola pikir, pola kerja, dan pola hidup masyarakat Indonesia.
Hal ini mengemuka dan menjadi catatan penting bagi Kemenko PMK kala melakukan Rapat Koordinasi Daerah di Provinsi Sulawesi Utara yang mengusung tema “Pembudayaan Pancasila dalam Rangka Mendukung Penguatan Karakter dan Jati Diri Bangsa” di Manado, Selasa (24/9/2024).
Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga Kemenko PMK Warsito menegaskan bahwa Indonesia merupakan bangsa pejuang yang telah terbiasa dengan tiga nilai penting, diantaranya integritas, etos kerja, dan gotong royong.
“Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia membuktikan bahwa nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong sejatinya telah melekat pada kita sebagai warisan pejuang. Ini akan selalu menjadi karakter bangsa kita,” ujarnya.
Kendati demikian, Warsito mengingatkan seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi akan berimplikasi terhadap tantangan bangsa ke depan yang juga semakin beragam.
“Tantangan teknologi digital salah satunya judol (judi online) yang marak di Indonesia, akan mengikis karakter Indonesia,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Warsito menambahkan ideologi transnasional yang masuk lewat teknologi digital, misalnya melalui kemampuan kecerdasan buatan yang dapat mengidentifikasi perilaku dan preferensi individu, juga sangat membahayakan ideologi bangsa.
Oleh karenanya, Warsito mengajak segenap pihak untuk terus menjaga kesadaran akan tantangan sekaligus memantapkan pondasi penguatan karakter bangsa.
Sementara itu, Arif Budimanta Staf Khusus Presiden yang juga Ketua II Tim Ahli Gugus Tugas Gerakan Nasional Revolusi Mental yang menjadi pembicara kunci menyoroti pentingnya pembudayaan ekonomi Pancasila sebagai langkah penguatan jati diri bangsa.
“Sistem ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang berlandaskan pancasila, bukan sosialisme, kapitalisme atau neo-liberal,” kata Arif.
Arif menjelaskan ekonomi Pancasila berasaskan kegotong-royongan, pemodal besar turut memikirkan keberdayaan pelaku ekonomi kecil tak sekedar melepas sistem ekonomi berdasarkan kemauan pasar yang seringkali menyisihkan pelaku usaha kecil.
“Pembudayaan ekonomi Pancasila sekaligus dapat menguatkan identitas dan karakter bangsa dilakukan melalui tiga tahap, membangun struktur, pembudayaan cara kerja, dan mengukur hasilnya,” pungkasnya.
