Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi saat menjelaskan langkah strategis yang dilakukan Perum Bulog untuk menjaga stabilitas pangan dan stabilitas harga, Jumat (30/8/2024). Di hilir Bulog mengembangkan Rumah Pangan Kita (RPK), di hulu kembangkan Mitra Tani. (foto indopostrust)
JAKARTA – Perum Bulog, sebagai perusahaan BUMN yang menjalankan fungsi rantai pasok pangan, terus bekerja menjaga stabilitas pangan dan stabilitas harga. Hal tersebut diantaranya dengan melakukan strategi hulu dan hilir.
Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi mengungkapkan, Bulog menerapkan strategi hulu hilir untuk bisa betul-betul menjadi perusahaan rantai pasok pangan yang bisa diandalkan.
“Jadi di hilir kita mengembangkan Rumah Pangan Kita (RPK). Sedangkan di hulu kita kembangan Mitra Tani,” jelas Bayu saat dialog dengan awak media di Kantor Pusat Perum Bulog di Jakarta, Jumat (30/8/2024).
Saat ini jelas Bayu, jumlah RPK per Juli 2024 ada 21.380 outlet. Dengan adanya puluhan ribu outlet atau ritel yang berada di dalam jaringan Bulog, hal itu kata dia akan menjadi suatu instrumen yang sangat penting untuk Bulog bisa turut menjaga stabilitas pangan.
“Sedangkan untuk program Mitra Petani, secara keseluruhan ada sekitar 1.380 hektar. Langkah ini menjadi salah satu model untuk memperkuat jaringan rantai pasok pangan Bulog dengan bekerja sama langsung dengan petani,” jelas Bayu.
Bayu Kemudian menjelaskan lebih lanjut terkait perkembangan RPK. Itu adalah warung-warung, kios-kios, lapak-lapak milik masyarakat yang ada di gang-gang, di pasar dan mereka bermitra dengan Bulog.
“RPK ini 21.380 outlet, ini adalah bagi kita di Bulog jaringan ritel ini sangat penting. Karena disatu sisi Bulog harus mengamankan dan menjaga stabilitas harga pangan. Dan yang diukur dari stabilitas harga pangan itu adalah stabilitas harga ditingkat konsumen,” beber Bayu.
“Dari memiliki 21.380 outlet atau ritel yang berada di dalam jaringan Bulog, itu akan menjadi suatu instrumen yang sangat penting untuk Bulog bisa turut menjaga stabilitas pangan,” imbuhnya.
Dari puluhan ribu RPK tersebut jelas Bayu, 74 persen RPK nya Bulog ada di pemukiman. “Jadi ini penetrasi ritel langsung ke konsumen. Di pasar ada 25 persen dan di rusun ada 1 persen.”
Adapun omzet warung itu, kata Bayu, rata-rata Rp10 sampai 50 juta perbulan. Dan dari Rp10-50 juta omzetnya, sebanyak 28,6 persen dari omzet RPK itu datang dari Bulog.
“Jadi Bulog menjadi distribution centernya RPK. Kita memasok barang-barang tentu mulainya dengan beras. SPHP itu bisa dijual bahkan hanya bisa dijual melalui RPK, bisa disalurkan melalui RPK. Jadi beras memang menjadi produk utama yang dijual oleh Bulog. Tetapi kemudian bukan hanya beras, bisa juga menyalurkan gula, minyak goreng dan lainnya,” jelasnya.
“Kita memperhitungkan potensial market dari 21 ribu RPK tadi, itu sebenarnya adalah kurang lebih sekitar Rp11,5-12 triliun per tahun. Ini adalah bagian dari usaha Bulog, bagian dari transformasi Bulog untuk melakukan hilirisasi. Jadi hilirisasinya Bulog melakukan network ke ritel sampai ke eceran. Kita memandang bahwa RPK-RPK ini tumbuh sekitar 3-4 persen masih rendah. Sekarang kita sedang mengusahakan, kerja sama dengan Bulog akan membuat mereka bisa tumbuh lebih pesat lagi,” imbuh Bayu.
Salah satu langkah yang dibuat Bulog untuk mendukung dan memfasilitasi RPK, baru-baru ini jelas Bayu, Bulog meluncurkan MyRPK. Ini adalah sebuah aplikasi yang memungkinkan RPK nanti bisa memesan produk, bisa menjual produk.
“Serta bisa menyiapkan katakanlah standar laporan keuangan. Bisa memiliki catatan dan sebagainya yang lebih baik. Lebih rapih lebih profesional. Ini semua berbasis pada handphone. Saat ini kami baru soft launching. Karena masih jalan pilot project di Jawa Timur dan di Jawa Barat,” ujarnya.
Tahun depan kira-kira awal tahun 2025, Bulog jelas Bayu, akan memiliki aplikasi yang sudah beroperasi penuh untuk MyRPK ini. Dengan demikian tugas Bulog untuk menjaga stabilitas pangan bisa lebih mudah.
“Jumlah output yang dimiliki, sekarang kurang lebih sudah setara dengan ritel modern, yang selama ini menjadi salah satu andalan pemenuhan kebutuhan masyarakat,” jelas Bayu.
Adapun strategi di hulu, atau hululisasinya adalah dengan program Mitra Tani. Bulog bekerja sama dengan para petani masuk ke on farm, masuk ke budidaya.
“Saat ini masih on farm Mitra Tani untuk padi. Tetapi kedepan tidak menutup kemungkinan Mitra Tani Jagung dan Mitra Tani lainnya,” jelas Bayu.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Mitra Tani ini memiliki lima model kemitraan. Yaitu Mitra Tani Mandiri Pendampingan; Mitra Tani Bagi Hasil; Mitra Tani Kemitraan Sewa Lahan; Kemitraan Sinergis dan Kemitraan Makmur BUMN.
“Yang membedakan adalah pengaturan di dalam kemitraan itu. Bulog membuka berbagai kemungkinan, karena ternyata di lapangan, preferensi dari petani itu berbeda-beda,” ujar Bayu.
Misalnya untuk Mitra Tani Pendampingan, lahannya adalah lahan petani. Sarana produksi pertaniannya (saprodi) disediakan petani, tenaga kerjanya petani sendiri. Tapi pendampingnya disediakan oleh Bulog.
“Kemudian nanti pada waktu produknya sudah selesai dan akan dijual, Bulog menjadi standby buyer. Arti standby buyer adalah kalau memang harganya cocok, baik Bulog dengan pembelian PSO atau komersial, kalau cocok mereka bisa jual ke Bulog,” ujar Bayu.
“Tapi kalau mereka mengatakan bahwa mereka lebih butuh jual keluar, yah silahkan. Kita tidak mengikat ini menjadi suatu keharusan, meskipun tentu nantinya akan menimbulkan biaya terkait dengan input yang diberikan oleh Bulog,” imbuhnya.
Sedangkan untuk bagi hasil, lahan punya petani. Saprodinya disediakan oleh Bulog, tenaga kerjanya dari petani sendiri, Pendampingannya dari BULOG dan penjualannya kepada Bulog
“Kalau sewa, lahan milik petani, di sewa Bulog. Ini ada petani yang minta seperti itu. Sudah lahannya disewa saja, kita sewa lahannya kemudian Saprodinya dari Bulog. Petaninya bekerja di lahannya sendiri dan dibayar, mendapatkan upah. Kemudian pendampingannya dilakukan oleh Bulog dan penjualannya itu semua Bulog. Pola yang ketiga bagi petani, paling aman, resikonya tidak ada buat petani,” jelas Bayu
Kemudian yang keempat, kemitraan bersinergis. Lahannya itu dari petani, saprodinya dari Bulog, petani dibayar oleh Bulog. Kemudian budidayanya, mereka. Sedangkan Bulog sebagai standby buyer.
“Yang paling luas adalah Program Makmur. karena didalamnya ada misalkan BRI, asuransinya dan lain-lain. Lahannya bisa punya petani, bisa punya Bulog, bisa punya BUMN. Saprodi nya juga begitu. Kemudian petani dibayar oleh BUMN dan lembaga terkait. Jadi ini adalah langkah hululisasi. Mencoba masuk ke on farm. Memahami bagaimana kondisi produksi. Dengan demikian kita bisa betul betul mengetahui apa kendala yang dihadapi oleh petani. Solusinya apa. Dan yang sangat penting buat Bulog, berapa harga pokok produksi petani,” jelas Bayu.
Sampai dengan hari ini kata dia, sudah ada 1.336 hektar yang kemitraan sinergi. Sedangkan 42 hektar kemitraan bagi hasil.
“Jadi secara keseluruhan sekitar 1.380 hektar. Targetnya sampai akhir tahun, ada 2000 hektar. Tahun depan bisa meningkat 10 ribu hektar dan seterusnya. Langkah ini menjadi salah satu model untuk memperkuat jaringan rantai pasok pangan Bulog dengan bekerja sama langsung dengan petani,” pungkasnya. (dai)
